KA.KWARRAN BERSAMA SEK.KWARRAN SUGIO

KA.KWARRAN BERSAMA SEK.KWARRAN SUGIO

Kamis, 17 Mei 2012

DIANPINSAT, WADUK GONDANG 29-02 Mei 2012

Lamongan, 04 Mei 2012
Bersamaan dengan pelantikan Majelis Pembimbing Cabang (Mabicab) dan Pengurus Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Lamongan, Ketua Kwartir Daerah (Kwarda) Gerakan Pramuka Jatim Saifullah Yusuf (Gus Ipul) juga melantik 468 Ketua Majelis Pembimbing Desa/Kelurahan (Mabisa/Kel) di bumi perkemahan Waduk Gondang, Senin (30/1). Kegiatan itu dilaksanakan bersamaan dengan pembukaan perkemahan Gladian Pimpinan Satuan (Dianpinsat) di lokasi yang sama. Dilantik oleh Gus Ipul sebagai Ketua Mabicab Gerakan Pramuka Lamongan periode 2010-2015 adalah Bupati Lamongan Fadeli. Dengan wakil ketuanya Wabup Amar Saifudin, Sekretaris Kajari Dyah Retnowati Astuti, ketua harian Ketua DPRD Makin Abbas dan anggota Mabicab adalah Kapolres AKBP Marsudianto dan Dandim 0812 Letkol Inf Yudha Fitri. Sementara jajaran pengurus Kwarcab periode 2012-2017 adalah Sekkab Yuhronur Effendi sebagai ketuanya. Dilantik juga di kesempatan itu Lembaga Pemeriksa Keuangan (LPK) Pramuka Lamongan yang diketuai Kepala Inspektorat Ismunawan. Gus Ipul menyatakan gerakan pramuka tidak ketinggalan jaman, karena pramuka menghadirkan kegiatan-kegiatan yang baik dan kostruktif. Pramuka mengajarkan masyarakat untuk mencintai sesama dan alam. Hal itu adalah ajaran yang maju dan modern. Dia juga menyatakan pramuka berfungsi mengisi kegiatan siswa antara sekolah dan rumah. Karena banyak hal-hal buruk bisa terjadi diantara kegiatan sekolah dan dirumah. “Saat itu anak-anak tidak dalam pengawasan guru maupun orang tua, “ ungkap Gus Ipul. Dia juga menegaskan bahwa Pramuka bukan hanya milik pemerintah, gubernur, bupati atau mereka yang berpakaian pramuka saja. Tapi lebih dari itu, pramuka adalah milik rakyat. Selanjutnya kepada pengurus yang baru dilantik, Wakil Gubernur Jawa Timur itu berharap agar mereka bisa menjadikan pramuka sesuai dengan kondisi hari ini seperti dalam penggunaan teknologi. Sedangkan Fadeli dalam sambutannya menyampaikan seiring dengan upaya untuk terus mencapai prestasi yang lebih baik, Pramuka Lamongan beberapa tahun terakhir telah mengukir berbagai prestasi yang sangat membanggakan. Pramuka Lamongan terus bekerja keras dan tidak pernah ketinggalan untuk mengikuti berbagai event penting. “Jambore pramuka baik nasional maupun internasional selalu diikuti. Antara lain jambore internasional di Inggris, India, Thailand maupun Singapura. Terakhir mengikuti jambore pramuka se-dunia di Kristiandad, Swedia yang diwakili anggota pramuka Gugus Depan (Gudep) Pondok Pesantren Al Ishlah Paciran. Karena keaktifan dan prestasinya, sehingga Lamongan masuk 4 besar Jatim sebagai Kwarcab tergiat, “ ungkap dia. Pada tataran Kwarcab Pramuka Lamongan sendiri, Fadeli mengungkapkan ada aktifitas dan kegiatan secara teratur, terprogram dan terencana yang telah dilaksanakan. Seperti Dianpinsat yang dimulai kemarin dengan tujuan memberikan pengetahuan di bidang manajerial dan kepemimpinan. Kegiatan Dianpinsat tahun 2012 ini diikuti oleh 215 sangga dengan peserta kurang lebih 2.150 orang anggota pramuka penegak dari SMA, SMK, MA se-Kabupaten Lamongan. Dimana dalam Dianpinsat tahun ini diisi dengan unjuk terampil anggota pramuka dari Gudep Pondok Pesantren Al-Ishlah Paciran. Berbagai atraksi ditampilkan, diantaranya pencak silat dan marching band. Acara ditutup dengan penyerahan tunas kelapa oleh salah satu anggota pramuka kepada Kakwarcab Gerakan Pramuka Lamongan Yuhronur Efendi.

Selasa, 01 Mei 2012

MENGENANG BAPAK PENDIDIKAN NASIONAL

Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga Kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi: “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun” Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan).